Oleh: *Azwar Hadi Nasution Peneliti di Institut Agroekologi Indonesia (INAgri). Niat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2014-2019 untuk merevisi Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) menjadi bola liar. Paradigma DPR-RI bahwa UU SBT untuk memenuhi pemenuhan pangan semestinya menempatkan penguatan posisi petani kecil. Alasan petani, peternak dan inovasi sebagai pokok utama perubahan UU SBT patut diacungi jempol namun mesti ditelisik lebih dalam nasib petani kecil. Kini, UU SBT akan direvisi menjadi RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB). Pengesahan RUU ini ditergetkan terlaksana pada bulan September 2019 oleh DPR-RI periode 2014-2019. Menyoal U SBT sebenarnya sudah lama dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Bulan Juli 2013, MK kemudian mengabulkan permohonan dengan putusan Nomor 99/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (1) UU SBT bertententangan dengan UU
Hari ini, 10 Agustus, setiap tahun diperingati sebagai Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN). Peringatan ini menjadi salah satu upaya menjaga kesinambungan kegiatan konservasi alam, memasyarakatkannya, serta menjadikan konservasi alam sebagai bagian dari sikap hidup dan budaya bangsa. Praktik konservasi alam secara tradisional masih tersebar di masyarakat Nusantara. Masyarakat desa Bangsal di Kecamatan Pampangan Kabupaten OKI, menjadikan konservasi alam sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari. Salah satunya pada sektor peternakan. Jenis ternak yang dipiara terutama kerbau rawa, atau kerbau pampangan. Hewan besar ini merupakan salah satu spesies kerbau asli Indonesia. Sebagaimana namanya, hewan ini hidup di ekosistem rawa. Merumput sambil berenang. Memakan rumput yang tumbuh di bawah maupun di atas permukaan air. Habitat kerbau rawa Pampangan berpotensi terancam. Kawasan rawa yang menjadi tempat penggembalaan banyak mendapat tekanan. Di antaranya alih fungsi lahan m